Kumpulan Catatan Kuliah Filsafat
Latar Belakang
Filsafat, bukanlah nomina apalagi ajektiva. Filsafat sebenarnya lebih
tepat dikategorikan sebagai verba. Itulah yang menjelaskan mengapa
Kamus Besar Bahasa Indonesia, pada pernyataan pertama mendefenisikan
filusuf sebagai orang yang melakukan aneka kerja-kerja mencari
pengetahuan dengan penyelidikan mengunakan akal budi mengenai hakikat
segala yang ada, sebab, asal, dan hukum (teori dan dalilnya). Ilmu tidak
lain adalah sejarah pengetahuan, pemikiran, dan perilaku manusia yang
berkesinambungan. Ilmu menjadi begitu bermanfaat bagi kehidupan
“remeh-temeh” manusia dan bahkan membentuk peradaban. Hal ini terjadi
bukan karena ilmu itu dibicarakan atau dikhutbahkan, melainkan karena
dituangkan dalam bentuk gambar, manuskrip, naskah tulisan, buku, atau
dalam bentuk konstruksi jembatan layang dan gedung pencakar langit
ataupun pesawat ruang angkasa.
Filsafat juga bukan teori, bukan ideologi, dan terlebih lagi bukan
agama. Filsafat pada awalnya hanyalah pemikiran. Jika filsafat dikatakan
sebagai pemikiran, maka pada kata itu terdapat proses berpikir. Sejalan
dengan berkembangnya kebutuhan manusia terhadap hasil pemikiran,
filsafat kemudian dibukukan untuk digunakan sebagai alat
analisis atau “pisau bedah” pengetahuan. Ketidaksempurnaan hasil pemikiran dikumpulkan lalu dipadupadankan sebagai bentuk
sintesis dengan
formulasi lain lalu dibukukan. Hasil pencatatan pemikiran kemudian
menjadi rujukan sejarah perilaku keseharian manusia yang menikmatinya,
bahkan dilakukan dengan cara menertawainya. Berpikir layaknya seorang
filusuf diasumsikan mampu membuat orang memiliki semangat seperti
seorang pemuda dan membuat umur semakin panjang.
Dengan filsafat, manusia mampu membangun ideologi, menyebar doktrin,
dan mengajarkan cara-cara mengaplikasi sebuah keyakinan untuk mencapai
tujuan tertentu. Dengan meletakkan filsafat sebagai cara pandang, cara
berpikir, dan cara bertindak, maka filsafat tidak lagi menjadi rujukan
teoritis belaka.
Ratusan filusuf, agamawan, ulama, ilmuwan,
ahlul hikmah,
guru besar, dosen, hingga mahasiswa yang pernah mengurai kesimpulan atau
coba menyarikan apa filsafat itu, termasuk coba mengkaji keterkaitannya
dengan ilmu pengetahuan. Mendiang Prof. Notonegoro, guru besar ilmu
filsafat pertama di Indonesia pernah mencoba mencatat definisi, teori
tentang filsafat dan ilmu, bahkan pernah “mengalah” setelah setahun
dengan telaten dan penuh dedikasi membuat materi ajar bagi mahasiswanya.
Guru besar filsafat dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini
mencoba mengurai, mengumpulkan manuskrif, literatur, buku, tentang
dasar-dasar filsafat dan ilmu. Pada akhirnya sang profesor “tumbang”
setelah mencoba mencari perbedaan mendasar di tiap defenisi filsafat dan
ilmu. Dalam usahanya, beliau mencatat sebanyak 732 definisi dan
kemudian menjadi buku materi ajar “wajib” bagi mahasiswa filsafat
semester awal di UGM. Kumpulan defenisi dalam bentuk ketikan (diktat)
itulah kemudian banyak digandakan untuk menjadi rujukan, bagi mahasiswa
yang ingin “mengoleksi” definisi filsafat secara tertulis.
[1]
Umur sang professor terlalu singkat hanya untuk mencari tahu dan
mencatat definisi yang sebenarnya dan hanya untuk mengatakan bahwa
filsafat itu adalah “ibu kandung ilmu pengetahuan.” Prof. Notonegoro pun
merekomendasikan buku Luis O Kattsoff, The Element of Philosophy,
menjadi
main elementary book of student’s philosophy,
buku rujukan utama. Buku ini dialihbahasakan oleh seorang mahasiswa
sekaligus pembantu mengajarnya, Drs. Soejono Somargono. Hasil kerja
tokoh dan guru filsafat sekaliber mereka kini dinikmati oleh generasi
terakhir dengan hanya menimba dan memahami filsafat berdasarkan hasil
analisis-sintesis yang mereka lakukan berbulan-bulan bahkan tahunan.
Mempertimbangkan pentingnya kajian
analisis-sintesis sebagai
bentuk logika yang telah dilakukan oleh para filusuf dan ilmuwan dalam
mengurai dan mendefinisikan ilmu, makalah ini mencoba menggali dan
mengurai lebih dalam tentang apa, bagaimana, dan untuk apa
(what-how-why) rangkaian metode berpikir
analisis-sintesis dalam konteks filsafat ilmu.
Metode Analisis Sintesis: Beberapa Konsep Dasar
Kata metode berasal dari kata
methodos. Methodos berarti
penelitian, hipotesa ilmiah dan uraian ilmiah. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa metode adalah cara kerja yang sistematis yang digunakan
untuk memahami suatu objek yang dipermasalahkan atau realitas yang
dianalisa.
Metode, sejak awal, merupakan instrumen utama dalam proses dan
perkembangan ilmu pengetahuan sejak dari awal suatu penelitian hingga
mencapai pemahaman baru dan kebenaran ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan. Metode yang benar dan sah akan menjamin kebenaran
yang benar dan sah pula. Maka tidak mengherankan apabila setiap cabang
ilmu pengetahuan mengembangkan metodologi yang sesuai dengan objek
penelitiannya. Keharusan metodis adalah keniscayaan dalam pencapaian
pengetahuan. Tapi metodologi bisa berbeda bagi setiap bidang ilmu
pengetahuan.
Dalam filsafat, metode dan objek formal filsafat tidak terpisahkan.
Masing-masing aliran filsafat menentukan objek formalnya. Dengan
demikian, aliran filsafat menentukan metode dan logikanya sendiri.
Setiap aliran filsafat mempunyai kemandirian dalam bidang ilmiahnya.
Kemandirian itu menyebabkan bahwa filsafat menjelaskan,
mempertanggungjawabkan dan membela metode yang dipakainya.
Filsafat mengajukan claims of discovery of the correct method. Tapi
di pihak lain sering kali ada perbedaan mendasar antara apa yang
benar-benar dikerjakan seorang filsuf, dan tuntutan metodologisnya.
Meskipun filsafat mempunyai metodenya sendiri, dengan sendirinya
filsafat memakai unsur-unsur metode umum. Setiap paham filsafat
menerapkan unsur metodologi umum ini menurut caranya sendiri. Ada
beberapa tekanan yang nampak dalam paham filsafat. Segi subjektif:
rasionalisme, pragmatisme, fenomenologi, positivisme, empirisme. Segi
objektif: realisme, idealisme, materialisme, monisme dan lainnya. Berkut
ini dijelaskan dua jenis metode dalam berlogika, yaitu analisis dan
sintesis.
Analisis
Secara etimologis, kata ‘analisis’ yang dalam Bahasa Inggris ‘analysis’ berasal dari leksem bahasa Yunani
analyein (gabungan morfem
ana- dan
lyein)
berarti ‘melonggarkan’ atau ‘memisahkan’ (memisahkan keseluruhan
menjadi bagian-bagian). Dalam Kamus Meriam-Webster (2009: CD-ROM
version), kata ‘analisis’ memiliki beberapa dimensi makna. Dua di
antaranya yang berkaitan dengan filsafat dimaknai dengan
“a method in philosophy of resolving complex expressions into simpler or more basic ones” (metode dalam filsafat yang menguraikan ungkapan yang rumit ke dalam bentuk yang lebih sederhana atau yang lebih mudah) dan
“clarification of an expression by an elucidation of its use in discourse” (klarifikasi
ungkapan dengan cara menjelaskan penggunaannya dalam wacana). Selain
itu, dalam konteks kebahasaan, ‘analisis’ dimaknai sebagai
penyederhanaan bentuk kata dengan memisahkan akar kata dari imbuhannya
sebagai salah satu metode bedah bahasa.
Jika analisis (Meriam Webster, 2009) dikategorikan sebagai metode
berpikir dalam mengungkapkan pengetahuan dan kebijaksanaan, maka tentu
di dalamnya terdapat serangkaian fakta, konsep, prinsip dan prosedur
yang digunakan untuk menguraikan ataupun menyederhanakan ungkapan atau
hasil pemikiran. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menjelaskan setiap
entitas yang dikandung dalam ungkapan pemikiran dan perasaan manusia.
Menurut istilah, ‘analisis’ merupakan bentuk kegiatan logika yang menyarikan
kebenaran konkret suatu proposisi, dan memusatkan perhatian mula-mula dan terutama pada
forma telanjangnya (yang pada dasarnya matematis), yaitu
nilai kebenarannya (Palmquist, 2000). Dalam filsafat analitik (positivisme), analisis dirumuskan oleh Russel (1997) dengan pernyataan,
“Dalam percobaan yang dilakukan secara serius, tidaklah selayaknya
kita tempuh dengan menggunakan bahasa biasa, sebab susunan bahasa biasa
itu selain buruk, juga bermakna ganda arti. Oleh karena itu saya
bermaksud meyakinkan bahwa sikap bersikeras atau kepala batu untuk tetap
menggunakan bahasa biasa dalam mengungkapkan pemikiran kita adalah
penghalang besar bagi kemajuan filsafat.”
Oleh sebab itu tidak heran jika Russel menentukan titik tolak
pemikirannya berdasarkan bahasa logika. Hal ini terjadi karena ia
berkeyakinan bahwa teknik analisa yang didasarkan pada bahasa logika itu
dapat menjelaskan struktur bahasa dan struktur realitas. Analisa logik
ini mengandung pengertian, suatu upaya untuk mengajukan alasan
a-priori
yang tepat bagi pernyataan. Dengan cara yang demikian, Russel
menerapkan teknik analisa bahasa untuk memecahkan masalah filsafat.
Namun Russel lebih mendahulukan analisa logik dari pada sintesa logik,
karena teori yang terlalu empirik (didasarkan atas fakta) tidak dapat
menjangkau hal-hal yang bersifat universal. Ia memperkenalkan istilah
data indera untuk hal-hal seperti warna, bau, kekerasan, kekasaran dan
seterusnya dan mengundang kesadaran kita dengan
sense datum a sensation
(sensasi akan data indera). Russel (1997) membedakan antara apa yang
disebutnya dengan pengetahuan dan pengenalan dan pengetahuan dan
deskripsi. Ia berargumen bahwa kita tidak secara langsung berkenalan
dengan obyek-obyek fisik tetapi menyimpulkan obyek-obyek seperti meja,
pohon, anjing, rumah dan orang-orang dari data indera. Kesulitannya di
sini ialah bagaimana inferensi dibuat dari data indera untuk sebuah
entitas yang memenuhi penjelasan
common sense tentang obyek
fisik. Bagi Russel kebenaran bersifat logik dan matematik yang
diungkapkan dalam analisa logik “meyakinkan kita untuk mengakui
keperi-ada-an sifat-sifat ‘universal’yang tak terubahkan, padahal banyak
teori yang bersifat empirik murni tidak dapat mempertanggungjawabkan
hal seperti itu.”
Oleh karena itu Russel menganjurkan kita untuk mencari teori ilmu
pengetahuan yang lain dari pada empirik murni. Pandangan yang demikian
inilah agaknya membuat Russel lebih semangat untuk membentuk bahasa yang
ideal bagi filsafat dengan didasarkan pada bentuk logika atau disebut
dengan bahasa logika. Hal ini tersimpul dalam ucapannya yang berbunyi:
“Yang menyebabkan saya menamakan doktrin Atomisme Logik ialah karena
atom-atom yang ingin saya peroleh sebagai hasil dari analisa terakhir
bukan merupakan atom fisik, melainkan atom logik” (Russel, 1997).
Merujuk pada penjelasan di atas, analisis pada akhirnya dimaknai
sebagai kegiatan berpikir yang melakukan perincian terhadap
istilah-istilah atau pernyataan-pernyataan ke dalam bagian-bagiannya
agar dapat menangkap makna yang dikandungnya atau memahami komponen
terlebih dahulu kemudian menguraikan komponen.
Sintesis
Sintesis merupakan bentuk lain dari kegiatan atau metode berpikir.
Secara sederhana, Russel menyatakan bahwa sintesa logik berarti
menentukan makna pernyataan atas dasar empirik. Meskipun demikian,
kebenaran proposisi Russel perlu dianalisis dengan membedah pengertian
yang dikemukakan.
Secara etimologis, sintesis berasal dari bahasa Yunani
syntithenai (syn- +
tithenai)
yang berarti ‘meletakkan’ atau ‘menempatkan’ (Meriam-Webster
Dictionary, 2009). Lebih lanjut, dalam suber yang sama, entri sintesis
diartikan sebagai komposisi atau kombinasi bagian-bagian atau
elemen-elemen yang membentuk satu kesatuan. Selain itu, sintesis juga
diartikan sebagai kombinasi konsep yang berlainan menjadi satu secara
koheren, dan penalaran induktif atau kombinasi dialektika dari tesis dan
antitesis untuk memperoleh kebenaran yang lebih tinggi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) sintesis diartikan sebagai
“paduan berbagai pengertian atau hal sehingga merupakan kesatuan yang
selaras atau penentuan hukum yang umum berdasarkan hukum yang khusus.”
Pengertian ini sejalan dengan pendapat Kattsof (1986) yang menyatakan
bahwa logika sintesis adalah kegiatan berpikir logis yang melakukan
penggabungan semua pengetahuan yang diperoleh untuk menyusun suatu
pandangan atau konsep. Sintesis dalam filsafat merupakan kombinasi
bagain atau elemen untuk menghasilkan pandangan atau sistem yang lebih
legkap atau sempurna. Koherensi yang dihasilkan dianggap mampu
menunjukkkan kebenaran secara lengkap daripada hanya sebagai kumpulan
dari bagian-bagaian. Istilah sintesis juga merujuk pada peningkatan
derajat kebenaran yang mengkombinasikan kebenaran tesis dan antitesis
dalam filsafat dialektika Hegel berkebangsaan Jerman abad ke-19.
Filsafat Jean-Paul Sartre menekankan jenis eksistensi sintesis. Dalam
Being and Nothingness,
kesadaran (pour-soi) selalu mencoba menjadi ada (en-soi), untuk
mencapai sebuah sintesis sebagaimana adanya antara ke-ada-an dan
ketiadaan.
Dengan demikian, jelaslah kiranya bahwa analisis dan sintesis
merupakan bentuk kegiatan berpikir atau berlogika yang menggunakan
bahasa dan referensinya sebagai alat bedah nalar bagi proposisi untuk
menyatakan kebenaran sebuah pernyataan
.
Relasi Ganda dalam Analisis Sintesis
Istilah “analisis” dan “sintesis”, sebagai label pembedaan metode
argumentasi antara yang deduktif dan induktif setidak-tidaknya seusia
dengan Euklides. Dalam
Elements-nya, Euklides menerangkan
sejelas-jelasnya bahwa dua metode ini sebaiknya tidak dipahami sebagai
saling terpisah, tetapi saling
melengkapi. Metodenya
memperlihatkan ketepatan teorema-teorema geometrisnya dengan mula-mula
menggunakan metode argumentasi analitik (deduktif), dan kemudian
mendukung simpulannya dengan penalaran sintetik (induktif). Proses
praktis penyusunan deduksi (berlawanan dengan bentuk tertulisnya)
berawal dengan perumusan suatu simpulan, lalu pembuktiannya dengan
pencarian dua atau lebih asumsi yang benar yang bisa berfungsi sebagai
landasannya. Proses induksi berawal dengan pengumpulan potongan-potongan
bukti empiris, lalu ini digunakan sebagai landasan untuk menarik kesimpulan.
Jika logika analitik menawarkan kejelasan pengindraan (yakni keluasan
pengetahuan), logika sintetik menawarkan kejelasan wawasan (yakni
kedalaman pemahaman). Bila dimanfaatkan dengan tepat, kedua jenis logika
itu tidak perlu dianggap bersaingan, tetapi seharusnya dipandang saling
melengkapi, sebagaimana deduksi dan induksi yang bisa digunakan secara
efektif sebagai metode-metode argumentasi yang saling melengkapi (atau
bersifat komplementer). Salah satu cara terbaik untuk menggambarkan
pertalian komplementer ini adalah mengaitkannya dengan pembedaan yang
kita pelajari dari Kant, antara kawasan pengetahuan-nirmustahil dan
kebodohan-pasti.
Logika analitik dapat digunakan untuk menghasilkan pengetahuan kapan
saja bilamana yang terpikir dipaparkan di dalam tapal batas
transendental (umpamanya, sesuatu yang dapat kita lihat). Akan tetapi,
begitu kata-kata untuk memerikan hal-hal yang terletak di luar tapal
batas ini digunakan, logika analitik bukan hanya kehilangan
dayapenjelasnya, melainkan sesungguhnya juga dapat menjerumuskan kita ke
dalam penyimpulan yang menyesatkan. Contoh kasus sebagaimana yang
diperlihatkan oleh Chuang Tzu kepada kita dalam memaparkan Tao, bila
berhadapan dengan persoalan yang tidak begitu kita ketahui dengan pasti,
kita bisa menemukan hal-hal yang kita yakini dengan memanfaatkan logika
sintetik untuk memperoleh wawasan yang dibutuhkan untuk mendukung
keyakinan-keyakinan itu.
Istilah “analitik” dan “sintetik” telah dipakai oleh filsuf-filsuf
dengan berbagai cara yang berbeda. Dalam waktu yang relatif lama, cara
yang pada umumnya diterima pemakaiannya untuk menunjukkan dua metode
argumentasi adalah cara penggunaan istilah-istilah ala Euklides. Namun
Kant mengembangkan cara-baru penggunaan istilah-istilah tersebut, yang
dengan demikian menunjukkan dua
tipe proposisi yang berlainan. Menurut Kant, proposisi adalah
analitik jika subyeknya “terkandung di dalam” predikatnya, sedangkan yang
sintetik adalah yang subyeknya berada “di luar” predikatnya. Jadi, proposisi dalam ungkapan “Merah adalah warna” termasuk
analitik,
karena konsep “merah” masuk sebagai salah satu unsur konsep “warna”.
Berdasarkan hal itu, proposisi “Kapur tulis ini putih” adalah
sintetik,
karena seseorang tidak akan mengetahui bahwa benda tersebut adalah
“kapur tulis” jika hanya diberitahu bahwa kapur tulis itu putih
(Palmquist, 2000).
Menurut Palmquist (2000), Kant juga memberi beberapa pedoman lain
yang lebih ketat untuk menentukan apakah suatu proposisi adalah
analitik ataukah
sintetik. Kebenaran proposisi
analitik
selalu bisa diketahui melalui logika saja. Jadi, jika makna kata-kata
sudah diketahui, proposisi ini tidak informatif. Proposisi analitik
mampu menjelaskan dirinya sendiri. Yang harus dilakukan hanyalah
mengatakan “merah” dan bagi mereka yang memahami makna kata ‘merah’ akan
segera tahu bahwa pembicara sedang membicarakan
warna.
Seperti halnya penyimpulan deduktif yang baik, kebenaran proposisi
analitik bersifat konseptual murni dan, karenanya, bersifat
niscaya. Sebaliknya, kebenaran proposisi
sintetik
mensyaratkan pemanfaatan sesuatu yang lebih dari sekadar konsep.
Seperti argumen induktif, pada proposisi sintetik terdapat pemanfaatan
intuisi, yaitu keadaan faktual obyek. Akibatnya, proposisi sintetik
selalu informatif dan kebenaran simpulannya
tergantung pada
keadaan obyek yang terus-menerus eksis. Jika misalnya seseorang
memberitahu bahwa sepotong kapur tulis yang tersembunyi dalam genggaman
tangannya itu
putih, maka kebenaran pernyataannya tergantung pada apakah orang itu mengelabui pendengar atau berkata benar.
Dewasa ini sebagian filsuf menduga bahwa terdapat begitu banyak
proposisi yang sulit untuk dinyatakan sebagai analitik atau sebagai
sintetik sehingga keseluruhan pembedaannya dianggap tidak berguna. Hal
itu memang dapat terjadi jika
konteks proposisi tidak behasil
diterapkan menerapkan berdasarkan pedoman Kant dengan hati-hati. Kant
mengkombinasikan pembedaan antara proposisi atau “penimbangan” analitik
dan sintetik dengan suatu pembedaan lain, antara jenis pengetahuan
“a-priori” dan “a-posteriori”.
“A-priori” mengacu pada sesuatu yang bisa diketahui kebenarannya
tanpa memanfaatkan pengalaman. Sebaliknya, sesuatu dianggap
“a-posteriori” jika peragaan kebenarannya mensyaratkan pemanfaatan
pengalaman. Hal itu menghasilkan empat kemungkinan jenis pengetahuan,
dua di antaranya non-kontroversial yaitu pengetahuan analitik apriori
yang secara sederhana adalah pengetahuan logis, dan pengetahuan sintetik
aposteriori yang secara sederhana adalah pengetahuan empiris. Kant
yakin, tidak ada pengetahuan analitik aposteriori, namun istilah ini
pada aktualnya memerikan suatu kategori epistemologis yang amat penting.
Mengklasifikasikan keyakinan hipotetis mengenai alam dengan cara
tersebut secara signifikan mampu menyelamatkan penampakan, baik supaya
tidak dipahami dengan bangga sebagai realitas hakiki atau pun supaya
tidak dibuang lantaran diakui sebagai penampakan belaka.
Kelompok pengetahuan sintetik apriori banyak menarik perhatian Kant.
Ia menyatakan bahwa semua pengetahuan transendental memiliki tipe
seperti ini. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa pertanyaan “Bagaimana
penimbangan sintetik itu apriori?” merupakan pertanyaan sentral semua
filsafat Kritis.
Pemakaian istilah-istilah itu sangat bermanfaat untuk memperbedakan
antara dua jenis logika. “Logika analitik” adalah seluruh tubuh logika
yang didasarkan pada prinsip-prinsip penalaran yang disusun oleh
Aristoteles. Prinsipnya yang paling mendasar adalah hukum yang disebut
“hukum kontradiksi”. Aristoteles menyatakan hukum ini di
Categories
dengan mengatakan bahwa suatu benda tidak mungkin “sesuatu” dan
sekaligus “bukan sesuatu itu” dalam hal yang sama pada waktu yang sama.
Dengan kata lain, mustahil bagi suatu benda untuk menjadi hitam dan
sekaligus putih, “A” dan sekaligus “-A”, dan sebagainya. Ungkapan
simbolik tersederhana hukum ini adalah:
“A bukan –A” atau “A ? -A”
Pengaruh besar hukum ini terhadap filsafat selama 2300 tahun ini
sangat menonjol. Padanya didasarkan hampir semua argumen yang telah
diajukan oleh filsuf-filsuf Barat. Lagipula, kita takkan mampu
berkomunikasi satu sama lain tanpa mengasumsikan bahwa bila kita
menggunakan suatu kata, kita ingin penyimak kita memikirkan benda yang
diacu oleh kata itu, dan bukan lawannya. Dengan demikian, deduksi dan
proposisi analitik adalah dua aspek dari logika analitik. Di kedua kasus
itu, keduanya dipasangkan dengan fungsi sintetik komplementernya:
induksi dan proposisi sintetik.
Selain itu, kebanyakan versi analisis linguistik menekankan pentingnya
analisis, dan kebanyakan versi eksistensialisme,
sintesis,
hampir mengabaikan atau bahkan secara terang-terangan menolak makna
penting kecenderungan lawanannya. Meskipun demikian, dengan adanya
pertalian komplementer antara analisis dan sintesis, setiap
kecenderungan tersebut saling bergantung untuk melanjutkan keberadaan
masing-masing, karena merupakan kutub-kutub yang komplementer pada
sebuah gerakan.
Oleh sebab itu, menjelang akhir abad XX, kedua kecenderungan tersebut
mulai gugur dan diganti secara bertahap oleh cara pikir lain, yakni
hermeneutik (Sumaryono, 1993). Menariknya, tiga pendekatan utama
terhadap filsafat itu semuanya menekankan tema umum: sentralitas
bahasa pada
pencarian filosofis. Unsur utama gerakan filosofis yang mendominasi
filsafat yang berbahasa-tutur Inggris sepanjang abad XIX, dikenal
sebagai “analisis linguistik”. Jalan filosofis ini juga disebut dengan
nama-nama seperti “filsafat analitik”, “filsafat linguistik”, atau
“filsafat bahasa”, bergantung pada preferensi filosof yang bersangkutan.
Namun, pada umumnya pendekatan ini menganggap
analisis bahasa sebagai tugas mendasar Filosof.
Cara yang cermat tentang bagaimana bahasa mestinya dianalisis, definisi yang tepat tentang apa
kah analisis itu, dan juga pembatasan yang pas tentang apa yang
terhitung
sebagai bahasa, semuanya merupakan persoalan yang diperdebatkan secara
terbuka di kalangan anggota-anggota aliran ini. Namun di tengah semua
perbedaan mereka, para analis linguistik disatukan oleh keyakinan
bersama mereka bahwa persoalan filosofis harus didekati mula-mula dan
terutama (jika bukan
hanya) dari sudut pandang yang
akar-akarnya pada bahasa manusia (Hidayat, 2006). Sebagiannya percaya
bahwa dalam memegang keyakinan ini mereka merupakan pewaris sejati atas
gagasan keterbatasan pengetahuan (yang dicanangkan oleh Kant) sampai
pada pengertian bahwa gagasan “peralihan transendental” dalam
berfilsafat disangka oleh banyak Filosof saat ini sebagai sesuatu yang
identik dengan “peralihan linguistik”.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional. (2003).
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Hidayat, A.A. (2006).
Filsafat Bahasa, Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda. Bandung: Rosda.
Kattsoff, O. L. (1986).
Pengantar FIlsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Merriam-Webster Dictionary (2009) CD-ROM Version.
Palmquist, S. (2000). The Tree of Philosophy: A course of
introductory lectures for beginning students of philosophy (Enlarged
fourth edition, with Glossary and eight new lectures). Hong Kong:
Philopsychy Press, Hong Kong.
Russel, B. (1997).
The Problems of Philosophy. New York: Oxford University Press.
Sumaryono, E. (1993). Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
[1]
Diramu dari catatan kuliah (tulisan tangan) ‘Filsafat Ilmu’, Thamzil
Thahir, alumnus Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN
Walisongo Semarang, 1995.